Senin, 03 Oktober 2016

Tapal Batas Sumut-Riau Rentan Konflik Berdarah

BEBERAPA kali legislator Sumut mengajak Biro Pemprovsu untuk ikut kunjungan kerja tetapi selalu menolak. Padahal permasalahan tapal batas Kabupaten Labusel Sumut dengan Kabupaten Rohil Riau berpotensi konflik horizontal.

Amatan tersebut berdasarkan kunjungan kerja (Kunker) Komisi A DPRD Sumut 20 September 2016 lalu. Potensi konflik horizontal itu semisal gangguan keamanan, kerawanan sosial, terhambatnya pembangunan dan aksi main hakim sendiri.

Menurut Ketua Komisi A DPRD Sumut Sarma Hutajulu SH dari Fraksi PDIP, di Kecamatan Manduamas dan Kecamatan Singkil, telah terjadi bacok-bacokan akibat konflik tapal batas.

"Kami amati komitmen Pemprovsu sangat rendah dalam upaya untuk menyelesaikannya. Kita datang bukan mau duduk-duduk dan main-main. Silahkan telepon pimpinan Anda kalau Anda tidak kompeten memberi penjelasan," ungkap Sarma, seraya menegur staf perempuan dari Bappeda Sumut, saat memimpin rapat dengar pendapat (RDP) membahas konflik tapal batas Kabupaten Labuhan Batu Selatan (Labusel) Sumut dengan Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau, Senin (3/10), di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan.

Selain Wakil Ketua Richard P Sidabutar SE (FP-Gerindra), RDP juga dihadiri anggota komisi A lainnya, diantaranya Anhar A Monel, M Syarif Rawi, Burhanuddin Siregar, Ronny Situmorang, Sampang Malem dan Putri SM Daulay. Hadir juga Asisten I Pemprovsu Hasiholan Silaen, Kabag Perbendaharaan Biro Keuangan Pemprovsu Ilyas Hasibuan, Plt Ka Biro Pemerintahan Umum Sumut Ilyas Sitorus, Asisten I Pemkab Labusel Zuhri, anggota DPRD Labusel Tulus, Bappeda Sumut, Biro Keuangan Sumut, BPN Provsu, Disbun Labusel, Kadishut Labusel, camat Kampung Rakyat dan camat Torgamba Labusel.

Bahkan, anggota Komisi A Burhanuddin Siregar lebih keras lagi. Baginya, niat Pemprovsu tidak serius menyelesaikan konflik tapal batas, sementara rakyat bisa ribut sampai berdarah-darah. "Udah keluar saja dan cari pimpinan Anda di Bappeda. Media juga harus menulis hal-hal seperti ini. Pemprovsu terlalu sering mempertontonkan kondisi yang tidak tepat," sesalnya. Melihat kegeraman Komisi A DPRD Sumut, staf Bappeda tersebut langsung keluar ruangan.

Tidak Guna Bila Mendagri Cuma Disurati
Anggota Komisi A DPRD Labusel, Tulus, menjelaskan, apa yang dilakukan Pemprovsu selama ini tidak akan ada gunanya, jika Mendagri cuma disurati saja. Menurutnya, DPRD Labusel kesulitan menggunakan anggaran karena ketidakjelasan tapal batas Labusel-Rohil.

"Kita coba ke Senayan DPR RI dan Mendagri. Andai Labusel bisa, pasti kami putuskan. Tapi ini tapal batas provinsi. Setiap tahun berkurang rakyat kami. Warga banyak punya 2 KTP. Kalau bisa kita gedor saja Jakarta karena konflik berdarah rentan pecah setiap saat," ingat Tulus.

Asisten I Pemprovsu, Hasiholan Silaen menanggapi, apa yang disampaikan Komisi A DPRD Sumut dan Pemkab Labusel sama seperti dirasakan Pemprovsu. "Sudah ada laporan kita pada 22 Mei 2015 ke Kemendagri. Namun yang bisa menyelesaikan hanya pemerintah pusat. Sekarang bagaimana kita mendesak pusat menyelesaikan masalah tapal batas," tepis Hasiholan.

Artinya, lanjut dia, jika sudah ada keputusan kelak, itu bukan berarti menghilangkan hak perdata tapi hanya mendudukan tapal batas. Hasiholan berkeyakinan, tidak ada teori pembiaran Pemprovsu menangani konflik tapal batas. "Sekarang ada konflik Labusel-Rokan Hilir, Palas-Rokan Hulu (Riau) dan Danau Toba saja sudah diklaim Aceh milik mereka. Kita sama-sama dorong Permendagri keluar agar selesai masalah tapal batas," imbaunya.

Sarma akhirnya mengeluarkan 3 kesimpulan rapat. Diantarnya melakukan Kunker bersama Pemprovsu dan Pemkab Labusel, untuk menemui Mendagri dan Komisi II DPR RI di Jakarta Oktober. "Potensi konflik horizontal sangat tinggi kedepan bila tidak diselesaikan. Jangan sampai ada klaim Aceh, kalau Danau Toba milik mereka," ungkap Sarma heran. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar