Kamis, 25 Mei 2017

Sampah Pajak Simpang Empat Kisaran Cemari Lingkungan

SAMPAH Pajak Tradisional Simpang Empat Kisaran mencemari lingkungan sekitarnya. Wajar, jika kondisi tersebut membuat Camat Simpang Empat Asahan, Armansyah, gerah.

Sudahlah tidak menyumbang untuk pendapatan daerah, malah sampah yang dihasilkan dari lapak Pajak Tradisional Simpang Empat, mencemari lingkungan. 

"Membunuh saja yang tidak. Semua sudah saya lakukan, agar pengelola pajak memperhatikan sampah pembuangan mereka. Permasalahan ini sudah lama sebelum saya menjabat. Awal saya menjabat, masalah sampah ini sudah target saya. Tapi itulah, gingging kali pengelola pajak, pengen kali aku tahu siapa dekingnya," ungkap Armansyah kepada M24, kemarin (24/5).

Perihal retribusi pajak maupun kebersihan, Armansyah yang baru 4 bulan menjabat Camat Simpang Empat ini, membantah tegas. "Saya pastikan tidak ada selama saya menjabat. Kalau sebelum saya, itu tidak tahu. Soal ijin apakah diperbolehkan ada pajak di situ, itu urusan Bapeda dan lingkungan hidup. Pokoknya kita tidak ada mengutip retribusi. Gak ada pendapatan daerah yang kita peroleh dari berdirinya pajak itu. Saya sudah desak pengelolanya untuk mengurus ijin secepatnya," tegas Armansyah.

Soal tumpukan sampah dari pajak tradisional itu, dia mengaku sudah memberi batas waktu satu hari atau sebelum bulan puasa, pemilik sekaligus pengelola pajak, harus segera membersihkan dan mengangkut tumpukan sampah tersebut. "Tidak ada alasan bulan puasa. Saya kasih waktu, semua sampah-sampah itu harus diangkat dari situ. Saya tidak mau tahu mau pake apa dia ngangkut atau mau diantar kemana sampah itu. Pokoknya lokasi itu harus bersih dari sampah," tegasnya serius.

Lina, pemilik sekaligus pengelola pajak tradisional di pinggir jalan lintas Simpang Empat-Tanjung Balai, mengaku, selama ini tidak ada memiliki ijin pendirian pajak. Bahkan tidak ada membayar retribusi sampah secara resmi ke pemerintah. "Dulu memang belum ada pajak resmi di sini. Banyak warga berjualan di sepanjang jalan ini. Jadi karena tanah ini warisan dari suami saya, ya udah, sama pak camat waktu itu dijadikan pajak. Gak ada memang ijinnya. Saya kasih sama orang kecamatan aja selama ini, Rp500 ribu tiap bulan," ungkapnya, tanpa memberi identitas oknum dimaksud.

Perihal ijin pajak yang mereka kelola, Said, suami Lina, meminta agar pertanyaan ditujukan terkait permasalah sampah, tidak meluas ke masalah lain. "Aku anggota LBH di Tanjung Balai, jadi tahu masalah hukum. Masalah ini sebenarnya ada hubungan ke JB (PT Jampalan Baru-red). Kami ada perjanjian waktu itu," ucapnya.

Terkait isi perjanjian dengan pemilik perumahan Mega Asahan Indah, anak usaha PT Jampalan Baru, disamping gedung SDN 010027 dan pajak yang dikelola istrinya itu, Said mengaku, perjanjian itu terkait jalur yang melintasi ladang. Dan lokasi pembuangan sampah yang jadi masalah saat ini diperbaiki pihak JB. "Perjanjiannya, jalan yang melewati ladang kami ini dibagusi, ditimbun dan tembok itu dibuka. Jadi ada jalur ngangkat sampah dan jalan warga perumahan ke pajak," ungkap Said.

Menurutnya, bukan hanya sampah mereka yang dibuang. "Sampah itu juga bukan hasil pembuangan sampah pajak kami aja. Begoni-goni orang buang sampah ke sini," timpal Leni. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar