Sabtu, 24 September 2016

Fenomena PKL


Fenomena pedagang kaki lima (PKL) identik dengan dua masalah pelik perkotaan. Kemacetan lalu lintas dan kumuh. Tak hanya menyimpan stigma mengganggu arus lalu lintas kendaraan bermotor, PKL kerap menempati trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Ketika pemerintah berupaya mengembalikan fungsi jalan dan trotoar, pada umumnya kaum PKL akan melawan.

Perlawanan sering diwarnai tangis dan amarah. Bahkan, darah tak jarang tumpah ketika terlibat bentrokan dengan aparat keamanan yang mem-back-up Satpol PP. Problem pelik inheren yang berlangsung bertahun-tahun di berbagai kota di Indonesia. Menggusur rakyat kecil yang mengais keuntungan dari usaha dagang secara mandiri.

Penguasa yang umumnya tak mampu memberi lapangan pekerjaan, lebih suka unjuk kekuatan. Menggusur pedagang tanpa memberi solusi dan masa depan PKL.

Catatan penulis, di awal kepemimpinannya menjabat walikota Solo tahun 2005, Joko Widodo (Jokowi), dengan gamblang dan tanpa beban mengatakan kepada koordinator 11 paguyuban yang mewadahi 989 pedagang, akan memindahkan lapak mereka. Apa yang dilakukan Jokowi merupakan aspirasi dan permintaan masyarakat Solo ketika itu. Tanpa banyak alasan bahkan penolakan, para pedagang yang semula menggelar dagangannya di kawasan Monumen 1945 Banjarsari, pindah ke lokasi baru di Pasar Klithikan Notoharjo, kawasan Semanggi. Permintaan Jokowi itu berlangsung pada jamuan makannya yang ke 54 kali. Dimana, strategi jamuan makan Jokowi tersebut, dengan mengundang para koordinator paguyuban pedagang.

Para PKL ini selain pada awalnya memasang harga mati untuk dipindahkan, mereka telah menghuni lokasi tak sesuai peruntukkan kawasan elit itu sekitar 20 tahun.

Potret kelam penanggulangan PKL yang berbeda 180 derajat dengan cara Jokowi "memanusiakan" PKL Solo. Relokasi demi relokasi pun terjadi disana tanpa huru hara. Tak ada darah tumpah dan air mata. Yang meleleh adalah air mata bahagia. Bukan air mata derita.

Fakta tak terbantahkan dari situasi tersebut, tergambar dalam pawai atau kirab boyongan PKL dari lokasi lama ke lokasi baru.

Sekarang, untuk Kota Medan kita tercinta ini, walikota Dzulmi Eldin, tidaklah harus latah meniru gaya Jokowi dalam menertibkan pedagang di Jalan Sutomo dan sekitarnya. Utamanya untuk menghindari adanya korban. Baik dari dari Satpol PP maupun dari pedagang itu sendiri. Penertiban pedagang juga tidak harus dilakukan berulang-ulang, apalagi jika diwarnai bentrokan. Ada strategi lain yang mungkin lebih bijak dan cerdas.

Jika memang pak wali atau pak wakil walikota punya cara jitu lebih bijak dan cerdas itu, mohon tertibkanlah PKL di seputaran Pajak Sukaramai. Karena masyarakat dan pengguna jalan telah dirampas haknya. Tak nyaman dan terganggu atas kemacetan yang dialaminya saat melintas di kawasan itu. Atau PKL-PKL lain di Kota Medan ini yang tidak pada tempatnya. Misalnya di Jalan Halat Medan di seputaran perkuburan dan di Jalan Gedung Arca Medan di sekitar kampus ITM dan UMSU. Karena memang kemacetan dan kumuh yang ditimbulkannya tetap akan mengganggu masyarakat. Semoga saja bisa dilakukan segera. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar