Cerita ini tidak sepopuler kasus reklamasi-nya Ahok yang berbuntut pada pemeriksaan Ahok sebagai saksi oleh KPK. Tak pula segeger konflik Saut Situmorang dengan HMI, yang akhirnya menghimpun kekuatan mahasiswa melaporkan Saut ke polisi. Atau bahkan segempar kasus mahasiswa bunuh dosen di UMSU Medan, hanya karena dipicu si mahasiswa kerap dimarahi sang dosen.
Ini sebuah cerita yang begitu saja mudah untuk dilupakan. Padahal menurut penulis merupakan suatu pembelajaran berharga dari sikap seorang ksatria yang patut menjadi contoh. Ya, ketika seseorang meletakkan jabatannya dengan beragam alasan, budaya malu masih melekatinya...mungkin!.
Semisal, ada Dicky Chandra, wakil bupati Garut yang mundur dari jabatannya karena berbeda prinsip dengan bupatinya. Ada Prijanto, yang mundur dari wakil gubernur DKI Jakarta, karena tidak pernah diikutsertakan dalam memimpin ibukota oleh Fauzi Bowo. Teranyar, Walikota Jakarta Utara, Rustam Efendi, mundur karena kinerjanya dinilai Ahok masih kurang.
Di Sumatera Utara, ada Syamsul Arifin yang 'terpaksa' menyudahi kepemimpinannya sebagai gubernur Sumut, karena kasus korupsi APBD Langkat 2000-2007 saat dirinya masih bupati Langkat. Ada juga Rahudman Harahap, yang juga 'harus' meletakkan jabatannya sebagai walikota Medan, akibat dililit kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan semasa dirinya menjabat Sekda Tapsel tahun 2005. Bahkan lebih heboh, Gatot Pujonugroho yang 'dipaksa' nonaktif sebagai gubernur Sumut karena kasus suap dan Bansos, harus menyeret beberapa nama, anak buahnya sendiri di jajaran Pemprovsu dan sejumlah legislator Sumut.
Mundur tanpa atau karena kasus hukum, paling tidak masih diwarnai unsur budaya malu. Bagaimana yang masih bercokol, bertahan atau mempertahankan jabatannya, meski masih sebatas saksi atau sudah tersangka, bahkan.
Sumatera Utara babak belur, menjadi bulan-bulanan KPK yang kerap mengobok-oboknya, akibat para elitnya tersangkut, terjerat, terseret kasus korupsi. Setelah sejumlah unsur pimpinan DPRD Sumut ditahan KPK, belakangan ada beberapa nama lagi yang ditetapkan KPK menjadi tersangka.
Sudah semestinya kita tumbuhkan budaya malu, menjunjung tinggi budaya malu. Setiap individu yang punya rasa malu, akan mampu mengendalikan diri, mengatur, sekaligus menjaga lisan dan prilakunya agar tetap terhormat. Tipisnya kemaluan itulah yang kini terasa sangat mengganggu perjalanan bangsa ini. Budaya malu yang sedemikian tipis, telah mendorong para elit negeri ini berlaku tak pantas. Ingin menang sendiri meski langkah mereka keliru dan bahkan mengkhianati aspirasi publik.
Belajar memiliki rasa malu itu sesungguhnya amat penting untuk memelihara negeri ini. Pejabat publik, wakil rakyat, juga elit politisi, sudah saatnya mulai belajar dan membudayakan rasa malu. Agar terhindar dari perangkap kepentingan-kepentingan pragmatis yang memalukan. Mereka mesti memulainya, untuk kemudian menjadi lentera bagi publik.
Budaya malu juga wajib tumbuh dalam dunia politik, pemerintahan dan kehidupan dalam berbangsa. Selama tidak menumbuhkan rasa malu, selama itu pula akan gagal menciptakan keadaan lebih baik bagi bangsa ini. Bagi politisi dan pejabat publik, memiliki rasa malu itu sangat penting untuk kembali menumbuhkan kepercayaan publik. Dengan menjaga rasa malu itu pulalah, kita akan menjadi bangsa yang bermartabat. Insya Allah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar